Pertanyaan Kemiskinan terhadap OYPMK dan Disabilitas
Halooo U~
Lagi, pembahasan mengenai Orang Yang sedang/Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan Disabilitas ada di Ruang Publik KBR yang bekerja sama dengan NLR Indonesia.
Pada 28 September 2022, tema yang diangkat ialah ‘Kusta dan Disabiltas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?’
Terdapat dua narasumber yang dihadirkan. Adalah Sunarman Sukamto, Amd yang merupakan Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staff Presiden (KSP) dan Dwi Rahayuningsih yaitu Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskiman dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappena.
Pernah disebutkan sebelumnya, bahwa penderita penyakit yang punya stigma buruk seperti kusta yang hingga membuat kondisinya menjadi seorang disabilitas berkaitan erat dengan masalah yang kompleks. I
Isu multidimensi terkait Kusta yang tidak hanya sekedar penyakit dan Disabilitas perlu penanganan berbagai pihak. Termasuk sisi ekonomi, sangat penting ditangani bersama oleh pemerintah dan lainnya.
Kemiskinan: Terkait HAM bagi OYPMK dan Disabilitas
“… Pendekatan negara pada penderita Kusta itu melalui paradigma HAM (Hak Asasi Manusia) bukan lagi paradigma belas kasihan. Itulah mengapa isu disabiltas dilekatkan dengan isu HAM…” – Pak Sunarman
Kedeputian V Kantor Staff Presiden sesuai perannya sebagai pemberi dukungan maka upaya untuk membawa perihal Disabilitas Kusta sebagai isu HAM terus ditingkatkan ke lembaga sektoral dan sektor terkait.
Secara data dari Bappenas, kemiskinan memang terjadi pada Disabiltas Kusta. Jikalau ada yang tidak, alasan yang berada di balik angka miskin tersebut berkaitan erat dengan stigma buruk lingkungan masyarakat sekitar.
Berkaitan dengan akses yang menjadi lebih terbatas bagi OYPMK dan Disabiltas karena pengucilan oleh publik seperti yang terjadi sejak zaman dulu, banyak sisi kehidupan yang terdampak bukan hanya kesehatan fisik si pasien.
Semakin bertambah kemajuan zaman, penyakit Kusta tidak boleh lagi dianggap kutukan sebab penderitanya sangat bisa disembuhkan. Penyebaran informasi yang benar tentang Kusta juga ditujukan kepada masyarakat supaya stigma dan anggapan buruk terhadap penderita menghilang dan diskriminasi juga meluntur.
Ada efek domino jika anggapan buruk kepada penderita Kusta terus menerus dibiarkan. Sebab tidak hanya kesehatan fisik saja yang terganggu. Ada aspek kesehatan yang terdampak dari stigma negatif tersebut. Pengucilan si penderita dari hidup bermasyarakat bukan hal yang baik untuk diteruskan.
Pasien pasti merasa tertekan karena mendapatkan penyakit yang membuat dirinya tidak semandiri biasanya. Ditambah dengan pandangan buruk dari orang sekitar, perasaan yang muncul dalam dirinya tentu didominasi oleh emosi buruk pula. Kondisi hati yang tidak baik akan berdampak pada susahnya menyembuhkan fisik yang sakit karena infeksi bakteri.
Pasien yang juga menganggap dirinya buruk tentu mau tidak mau menarik diri dari pergaulan bermasyarakat. Dikucilkan dan mengucilkan diri sama saja ujungnya yaitu hubungan sosial antara pasien dan manusia lainnya terganggu.
Pasien yang mendapatkan perlakuan diskriminasi bahkan dipecat dari pekerjaannya terntu saja berdampak kepada pendapatannya. Semakin sulit si pasien bekerja dan mendapat penghasilan maka semakin payah pula kebutuhan hidupnya terpenuhi.
Pasien yang biasanya pergi ke tempat ibadah untuk memenuhi kebutuhan rohani /spiritual tidak bisa leluasa. Tidak ada ketenangan dan kedamaian ketika semakin banyak mata dan perlakuan yang mendiskriminasi ditujukan kepadanya.
Nantinya ketika masyarakat sudah teredukasi tentang informasi yang benar terkait penyakit Kusta, maka diharapkan tidak mudah lagi stigma buruk menyebar. Apalagi di era digital sekarang, channel dan sumber informasi yang terpercaya semakin mudah dijangkau dan diakses. Kolaborasi dalam aksi mengatasi perkembangan Kusta ini mudah-tidak-mudah.